Jumat, 10 Juni 2011

Ludruk yang Terlupakan

Ketika pusat perbelanjaan di Surabaya menjamur, di sudut kota, ludruk sedang berjuang untuk tetap hidup.
Sambil bernyanyi dan memainkan peran, para pemain ludruk sekaligus menyebar tawa. Mulai dari canda kepada sesama pemain, sampai guyonan sosial  yang menyentil pemerintah meraka bawakan. Namun dibalik tawa riang itu, keterpurukkan sedang mereka landa.

Kesenian tradisional khas Surabaya ini sangat memprihatinkan keadaannya. Dengan harga tiket yang hanya lima ribu rupiah, dan penonton seadanya. Irama Budaya, salah satu grup ludruk yang berbasis di Taman Hiburan Rakyat Surabaya ini contohnya. Dengan anggota yang kesemuanya lelaki, mereka memainkan berbagai peran, dari bapak, anak, sampai ibu.
Biaya produksi pementasan juga tidak murah. Anggota Irama Budaya harus tampil dengan make-up tebal dan busana yang menarik  untuk menunjang jalan cerita. Sementara penonton kesenian ini sangat terbatas karena tergusur era televisi. “Ya sekarang memang sulit kalau mau membangkitkan ludruk lagi. Sudah banyak hiburan lain untuk masyarakat," ujar Sunaryo Sakiyah, pengurus Ludruk Irama Budaya.
Tidak mudah memang untuk mempertahankan budaya asli ini. Apalagi ketika lingkungannya tidak lagi mendukung. Padahal, budaya adalah salah satu indentitas kita sebagai bangsa besar pada saat mendatang.
Virginia Gunawan | 51408001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar