Jumat, 10 Juni 2011

FESTIVAL MALANG KEMBALI : MENAIKKAN KASTA PENGUSAHA TRADISIONAL



Selama lima hari, 500 stand besar dan kecil bersaing mendapatkan keuntungan. Minimal terjadi 500 kali transaksi per hari. Jumlah itu bahkan terlalu sedikit karena rata-rata ada 500 -700 ribu pengunjung berdesakan masuk setiap hari. Dengan kondisi seperti ini, tahun 2010 lalu Festival Malang Kembali meraih transaksi sebesar Rp 10 miliar.

Itu baru satu tahun penyelenggaraan Festival Malang Kembali (FMK). Hingga tahun 2011, FMK telah diadakan sebanyak 6 kali selama 6 tahun berturut – turut. FMK telah menjadi agenda tahunan dalam merayakan hari jadi Kota Malang, atas kerja sama Yayasan Inggil dengan Pemerintah Kota Malang. Tahun ini, FMK diadakan dari tanggal 19-22 Mei 2011 di kawasan elit kota apel tersebut, Jalan Idjen. Selama lima hari itu pula, jalan raya Idjen yang biasanya lengang dan kental dengan bangunan rumah kuno, berganti rupa menjadi pasar tradisional dengan suasana “tempo doeloe”. Seluruh kios berhiaskan atap jerami dan dinding bamboo tak ketinggalan para penjual pun memakai pakaian khas masyarakat kuno. Jejeran barang antik dan kendaraan kuno juga meramaikan suasana festival.

Uang memang bukan menjadi prioritas utama Festival Malang Kembali. Festival ini pada dasarnya diadakan sebagai bentuk visualisasi sejarah Kota Malang, sesuai dengan tema 2011, discovering heritage.
“Acara ini diadakan dengan satu pertanyaan sederhana, bagaimana membuat sejarah yang membosankan menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk dipelajari,” ujar penggagas Festival Malang Kembali, Dwi Cahyono, “nama Festival Malang Kembali pun diambil untuk menggambarkan upaya mewujudkan kembali sejarah Malang kepada warga kota ini.”

Untuk mewujudkan visualisasi ini, Dwi Cahyono bersama tim dan sukarelawan mengumpulkan total dana hingga Rp 1.5 miliar. Sebanyak 20% dana ditanggung oleh sponsor utama yang tahun ini diberikan kepada Esia. Pemerintah Kota pun turut menanggung dana 20% dari keseluruhan. Sisanya?

Sebanyak 60% total dana berikutnya ludes dalam penjualan stand. Rupanya festival ini tidak hanya memiliki daya pikat sejarah tetapi juga daya pikat ekonomi mikro. Sedikitnya 1000 stand turut mendaftar untuk masuk ke dalam Festival Malang Kembali. Hanya 500 stand yang terpilih masuk dan meramaikan pasar tradisional FMK.

“Keuntungan material bisa dilihat dari keramaian stand. Kami sama sekali tidak menarik keuntungan dari festival ini. Tujuan kami bukan uang tetapi visualisasi sejarah,” ujar pria yang telah menjadi Ketua Umum FMK selama enam tahun berturut-turut tersebut.

Dengan kualifikasi tersebut stand-stand yang dipilih pun diprioritaskan untuk kalangan pedagang kecil dengan berbagai dagangan tradisional. Cahyono tidak memungkiri adanya dampak ekonomi bagi para pedagang tersebut.

“Dengan festival ini, barang-barang tradisional menjadi komoditi utama, persaingan pun meningkat,” tegas Ketua Yayasan Inggil tersebut,” Mereka seolah – olah naik kasta dari dagangan minoritas di pasar umum. Bayangkan semua pengunjung hanya mencari barang-barang tradisional, bukan lagi barang-barang modern sehari-hari.”

Barang-barang tradisional ini pun menjadi salah satu tonggak eknomi kota Malang. Seolah menegaskan hal tersebut, sebuah visualisasi Benteng 1767 berdiri di tengah-tengah kawasan Idjen, yang menjadi maskot FMK 2011. Sejarah pernah menuliskan ada sebuah Benteng yang berdiri di kota Malang sebagai bentuk pertahanan militer Belanda pada tahun 1767.

“Benteng adalah sumber kenyamanan dan keamanan bagi warga di sekitar benteng. Malang kala itu hanya kota kecil. Namun ketika benteng ini ada, perekonomian pun mengalir masuk. Benteng ini adalah lambang titik balik perekonomian,” tutur Sarjana Ekonomi yang menyenangi sejarah tersebut,

Vassilisa Agata | 51408041

Tidak ada komentar:

Posting Komentar