Sabtu, 11 Juni 2011

KAMAPRAJA: Kebudayaan Toraja Yang Mulai Pudar

KAMAPRAJA adalah sebuah organisasi kecil yang beranggotakan mahasiswa-mahasiswa Toraja yang kuliah di Universitas Kristen Petra Surabaya.
Biarpun jumlah anggotanya sedikit tetapi 'output' dari lulusan-lulusannya tidak sekecil jumlah anggotanya. Persentase output mahasiswanya adalah 99,999% tingkat keberhasilan (khususnya dalam memperoleh pekerjaan).

Kamapraja sendiri memiliki sebuah misi yaitu:
  1. Mempererat persatuan antar sesama anak petra, arek petra dengan masyarakat toraja secara luas, dan anak petra dengan lingkungan sekitar.
  2. Memperkenalkan "Kampus Petra" ke anak-anak Toraja khususnya yang baru lulus SMU.
  3. Kembali membangun Tana Toraja, khususnya pengembangan pendidikan di Tana Toraja.
Richard Koswara, di kost-nya bersama anak-anak Toraja lainnya

Menurut Richard Koswara, satu-satunya narasumber kami, yang juga seorang pemuda Toraja berumur 21 tahun dan menuntut ilmu di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra,   dialah yang memberitahu saya mengenai KAMAPRJA.

"Ada kok. Namanya KAMAPRAJA, kepanjangannya Ikatan Mahasiswa dan Alumni Petra Toraja. Kegiatannya ya lumayan banyak, tapi cuman kegiatan biasa tok.. Gak ada sangkut pautnya sama budaya. Biasanya ya kayak kebaktian bulanan, trus kumpul-kumpul kalo ada ultah... ada kegiatan besar satu, kayak bakti sosial gitu.. kegiatannya itu ngajar anak 
-anak SD di kampung-kampung di Toraja, tiap 2 tahun sekali.." Richard menjelaskan secara singkat.

Dengan terbentuknya KAMAPRAJA pada tanggal 24 April 1998 ini, sebenarnya membawa nilai positif bagi pelestarian kebudayaan untuk mahasiswa suku Toraja di UK Petra, karena mereka hidup di daerah yang jauh dari kampung halaman mereka. Ironisnya, di dalam organisasi ini, kebudayaan Toraja sendiri sudah luntur karena terbawa warna kehidupan kota Surabaya yang tentunya sangat berbeda.


Oleh:
Joan Sabrina
51408023

Jumat, 10 Juni 2011

Didik Anak Tuna Grahita tuk Hidup Mandiri

Murid-murid penyandang tuna grahita di SLB Among Asih, Surabaya



Surabaya, ChaozNews – Tidak ada orang tua yang mengharapkan anaknya menjadi tuna grahita (Mental Retardation). Anak-anak yang mengalami cacat lahir itu memang tidak memiliki mengikuti pelajaran layaknya anak normal. Namun itu bukan berarti mereka tidak berhak mendapatkan pendidikan

Ita Susiana, S.Pd
Menurut Ita Susiana, S.Pd, tuna grahita dibagi menjadi tiga macam. “Pertama  becil, imbecil dan idiot. Yang membedakannya adalah nilai IQ dan tingkat pemahaman mereka. Tetapi sama saja mereka tetap tidak bisa mengikuti pelajaran layaknya anak normal.” Ujar guru SLB Among Asih yang bertempat di kawasan Tenggilis ini. 

Salah satu anak tuna grahita
“ Anak tuna grahita macam apapun memang tidak bisa mengikuti pelajaran akademik seperti anak normal seumuran mereka, namun mereka tetap bisa dilatih keterampilan khususnya motorik halus.” Ujar Ita. Menurut Ita, ketrampilan motorik halus itu contohnya mewarnai dan meruncing pensil.  Jika sudah dewasa, keterampilannya ditingkatkan menjadi keterampilan aplikatif seperti memasak atau keterampilan rumah tangga lainnya.

Kegiatan belajar mengajar anak tuna grahita
Melalui keterampilan tersebut, Ita menambahkan bahwa dimasa depan anak-anak tuna grahita tersebut tetap bisa bekerja untuk menafkahi hidup mereka. “ Caranya, mereka juga diajari berwirausaha agar mereka dapat memanfaatkan keterampilan tersebut untuk mencari uang. Contohnya menjadi satpam atau sekedar membantu di toko dan salon.” Ujar wanita yang sudah mengabdikan dirinya sebagai pengajar sejak 20 tahun lalu ini.

Baginya yang terpenting dari mendidik anak tuna grahita tersebut adalah ketelatenan.  “Dalam mendidik mereka, kita jangan membebani mereka dengan target tetapi biarkan mereka belajar pelan-pelan sampai mengerti. Selain itu kita juga membutuhkan bantuan orang tua anak tuna grahita agar tidak overprotected terhadap mereka.” Ujar wanita yang tinggal di daerah dukuh pakis ini. ” Tujuan sebenarnya cuma satu agar mereka bisa berlatih hidup mandiri.” Pungkasnya. (Chriz)


Dipost oleh : Christian Arriandi/51408056


Kenaikan omset pak kumis- Christian Marvy 51408018


Tren bersepeda di Surabaya ternyata berimbas positif juga pada perekonomian usaha kecil. Selain toko-toko sepeda kembali mengalami geliat kenaikan penjualan, penjaja jasa pemadan kelaparan pun turut mengalaminya. Seperti usaha Nasi Goreng Pak Kumis yang terletak di dekat area Taman Apsari, Surabaya.

Tempat yang terkenal dengan nasi goreng krengsenganya ini tiap Jumat malam selalu kebanjiran pelanggan. Pelanggan tersebut merupakan warga Surabaya yang bersepeda pada malam hari. Banyaknya pelanggan ini membuat omset penjualan Nasi Goreng Pak Kumis naik hingga 30%. "Biasanya cuma malem minggu aja rame, tapi karena di depan itu banyak yang nongkrong sepedaan fixi tiap Jumat, jadi rame juga," ujar Pak Kumis.

Tempat yang cukup untuk 30 orang itu selalu ramai dikunjungi dari jam 7 hingga 12 malam. Meskipun ada pelanggan lain yang tidak bersepada namun tempat tersebut selalu didominasi orang-orang yang menggunakan sepeda. Salah satu alasan pengguna sepeda untuk berhenti mengisi perut di Nasi Goreng Pak Kumis karena tempatnya yang stategis. Berada di tengah kota dan dekat dengan Taman Apsari yang sering dijadikan tempat nangkring para pengguna sepeda. "Kalo udah sampe TA ya pasti makan nasi goreng kresengan Pak Kumis, abisnya ga perlu gowes jauh-jauh lagi dan murah," kata Atia, seorang mahasiswa di Surabaya Hotel School yang sedang menunggu pesanan nasi goreng usai bersepeda Jumat (10/6) malam. 


Ludruk yang Terlupakan

Ketika pusat perbelanjaan di Surabaya menjamur, di sudut kota, ludruk sedang berjuang untuk tetap hidup.
Sambil bernyanyi dan memainkan peran, para pemain ludruk sekaligus menyebar tawa. Mulai dari canda kepada sesama pemain, sampai guyonan sosial  yang menyentil pemerintah meraka bawakan. Namun dibalik tawa riang itu, keterpurukkan sedang mereka landa.

Kesenian tradisional khas Surabaya ini sangat memprihatinkan keadaannya. Dengan harga tiket yang hanya lima ribu rupiah, dan penonton seadanya. Irama Budaya, salah satu grup ludruk yang berbasis di Taman Hiburan Rakyat Surabaya ini contohnya. Dengan anggota yang kesemuanya lelaki, mereka memainkan berbagai peran, dari bapak, anak, sampai ibu.
Biaya produksi pementasan juga tidak murah. Anggota Irama Budaya harus tampil dengan make-up tebal dan busana yang menarik  untuk menunjang jalan cerita. Sementara penonton kesenian ini sangat terbatas karena tergusur era televisi. “Ya sekarang memang sulit kalau mau membangkitkan ludruk lagi. Sudah banyak hiburan lain untuk masyarakat," ujar Sunaryo Sakiyah, pengurus Ludruk Irama Budaya.
Tidak mudah memang untuk mempertahankan budaya asli ini. Apalagi ketika lingkungannya tidak lagi mendukung. Padahal, budaya adalah salah satu indentitas kita sebagai bangsa besar pada saat mendatang.
Virginia Gunawan | 51408001

Surabaya Sukses “Diulang tahuni”

Surabaya, Menyambut Ulang Tahun (ultah) Surabaya, UK Petra menghelat acara “Tribute to Surabaya” Mei hingga Juni 2011 di Grand City Mall. Acara ini bertemakan seni dan mengungkap budaya lama Kota Pahlawan.

Acara yang bertajuk “Tribute to Surabaya” ini merupakan acara tahunan sebagai bentuk kebanggan terhadap kota yang dijuluki Suro dan Boyo. Tak hanya mereview keindahan kota Surabaya, acara tersebut mengundang pula berbagai pameran seni karya mahasiswa Arsitektur dan Desain komunikasi Visual (DKV) UK Petra sebagai bentuk kecintaan terhadap kota Surabaya.

Berbagai acara seni dihelat disana. Yakni, lomba melukis diatas sandal kayu, lomba mading 3D, pameran green map, Journalism Clinic, lomba blog ”Blog-O-Sphere”, serta berbagai pameran kota lama Surabaya. Acara yang digelar akhir Mei hingga awal Juni ini melibatkan setidaknya empat Jurusan. Aditya Nugraha sebagai kepala Perpustakaan menyatakan, acara ini terlihat tidak seperti biasanya. “Dulu pamerannya hanya seputar Surabaya saja. Tapi kali ini ada tambahan acara lain,” ujarnya. 

Pameran Kota Surabaya Tempo Doeloe
Menurutnya, pameran green map mengenai kota Surabaya bakal menambah karya seni arsitektur kota Surabaya yang tidak mengurangi nilai artistik asli Surabaya. Beberapa poster green map dan foto Surabaya tempo doeloe sengaja dipasang untuk mengkomparasikan antara Surabaya dulu dan sekarang. “Semoga pengunjung terkesand engan komparasi ini,” terang Aditya. Lomba-lomba seperti melukis diatas sandal kayu, ternyata menarik perhatian. Terutama dari segi penataan warna dan gambar. “hasilnya bagus dan enak dilihat,” Ujar Petrus J. Pranowo panitia acara. Tidak hanya lomba saja, namun digelar pula perpaduan antara Mural dan tarian HipHop yang sengaja ditandingkan untuk membuat sebuah karya seni yang indah. "Acara ini memang bukan pertama kali, namun sangat seru," tambah Petrus.

Sandal Kayu: Salah satu hasil lomba
melukis sandal kayu.
  Menurut Petrus acara ini tidak sia-sia digelar. Persiapan berbulan-bulan dari panitia akhirnya membuahkan hasil. Menurutnya event ini memang layak untuk digelar dan memiliki edukasi dan karya seni yang tinggi. “ Mahasiswa Petra ternyata masih cinta terhadap Surabaya. Mereka memberikan yang terbaik bagi Surabaya,” tambahnya.

Aditya kembali mengungkapkan, tahun depan bakal digelar acara yang lebih ramai dan seru. Dirinya berjanji akan terus menggelar acara ini demi mengenang kota Surabaya dan menghidupkan kembali rasa cinta masyarakat Surabaya terhadap kotanya tercinta. “Harapan saya ini semua bermanfaat baik bagi pengunjung Grand City Mall, maupun seluruh warga Surabaya. (Andreas C.S. /51406107/beritaasikbanget) 
Serupa: Maket Arsitektur karya mahasiswa Petra



Jelang UAS Perpustakaan Petra “Laris Manis” (Nonik 51408067)

Siwalankerto, minggu ini UK Petra disibukkan dengan Ujian Akhir Semester (UAS). Tak tanggung-tanggung sejumlah buku di perpustakaan Petra, diborong habis oleh mahasiswa. Bahkan, perlu beberapa hari untuk mendapatkan buku yang diinginkan, serta perlu melakukan pemesanan terlebih dahulu ketika buku tersebut dipinjam oleh orang lain.

 
Ujian Akhir Semester (UAS) mungkin menjadi “momok” bagi mahasiswa. Tak jarang para mahasiswa berjuang melakukan yang terbaik demi nilai yang baik. Salah satunya adalah “memborong” buku-buku di perpustakaan tempat mereka belajar. Terutama yang terjadi di kampus UK Petra. Ujian diadakan mulai 7 Juni hingga 15 Juni 2011. Namun satu hari menjelang ujian, para mahasiswa sudah berbondong-bondong memenuhi perpustakaan kampus tersebut.
            Mereka bahkan menghabiskan jatah peminjaman mereka sampai habis. Demi memenuhi tugas dari para dosen, para mahasiswa harus berjuang mendapatkan buku referensi yang disarankan dosen tersebut untuk memenuhi materi perkuliahan. Di hari biasa perpustakaan tampak tidak begitu ramai. Menurut Djatmiko (43) hari biasa terhitung hanya mencapai 800 mahasiswa yang masuk. “Kalau dulu bisa sampai seribu. Tapi sekarang sudah menurun”, terang pegawai perpustakaan yang telah bekerja selama 20 tahun ini



            Menurutnya penurunan ini disebabkan kurangnya minat mahasiswa dalam membaca. Mahasiswa mulai suka membaca jika menjelang ujian atau pun tugas yang mendesak. Terbukti hingga minggu pertama ujian, terhitung ada lebih dari 800 mahasiswa yang memenuhi perpustakaan. “Itu belum termasuk yang mengumpulkan skripsi”, ujar Djatmiko.
            Minggu ini merupakan deadline bagi mahasiswa skripsi sebagai pengumpulan terakhir bahan skripsi sebagai penyimpanan publikasi ilmiah. Salah satu spot yang terhitung ramai adalah di lantai 8 dekat dengan karpet dan ruang baca lesehan. Djuariantok (45) salah satu petugas disana menyatakan bahwa minggu ini terbilang ramai. Beberapa mahasiswa terlihat lesehan dan bekerja dengan tekunnya. “Mereka terlihat  sibuk. Sehari bisa mencapai dari 50 mahasiswa disana,” ujar pria beranak dua itu. Menurutnya situasi ini sering terjadi jika menjelang UAS.
            Salah satu petugas lain, Suroso menambahkan buku-buku di lantai 7 mulai laris. Tidak seperti biasanya yang sepi pengunjung dan satu hari kuota peminjam kurang lebih 50 buku yang keluar. Namun menjelang ujian seperti sekarang ini mulai banyak buku yang dipinjam dan banyak pula mahasiswa yang ‘mampir’ untuk sekedar membaca atau mengerjakan tugas. “Buku-buku yang saya atur untuk dibaca saja sudah melebihi dari biasanya”, ujar suroso. Menurutnya hal ini wajar terjadi menjelang UAS dan saat minggu ujian berakhir, mereka juga kembali berbondong-bondong mengembalikan buku.
Namun bagi mereka yang bekerja di perpustakaan, tidak masalah bagi mereka untuk menata ulang buku-buku yang sudah ada, karena memang itulah pekerjaan dan pelayanan yang dapat diberikan. Harapan Suroso, Djatmiko, juga Djuariantok, minat baca mahasiswa tidak hanya saat UAS saja, tapi juga bisa dipertahankan ketika tidak ada urusan atau menjelang ujian saja. Hal ini akan semakin memberi kesan bahwa perpustakaan Universitas Kristen Petra di maksimalkan penggunaannya serta fasilitas yang ada menjadi wadah mahasiswa dalam mengembangkan akademisi-akademisi yang lebih baik. Namun ketiga narasumber yang berhasil dihimpun menyatakan ingin agar mahasiswa lebih meningkatkan minat baca mereka. Itu harapan yang sederhana namun membutuhkan usaha yang besar dalam pelaksanaannya.

FESTIVAL MALANG KEMBALI : MENAIKKAN KASTA PENGUSAHA TRADISIONAL



Selama lima hari, 500 stand besar dan kecil bersaing mendapatkan keuntungan. Minimal terjadi 500 kali transaksi per hari. Jumlah itu bahkan terlalu sedikit karena rata-rata ada 500 -700 ribu pengunjung berdesakan masuk setiap hari. Dengan kondisi seperti ini, tahun 2010 lalu Festival Malang Kembali meraih transaksi sebesar Rp 10 miliar.

Itu baru satu tahun penyelenggaraan Festival Malang Kembali (FMK). Hingga tahun 2011, FMK telah diadakan sebanyak 6 kali selama 6 tahun berturut – turut. FMK telah menjadi agenda tahunan dalam merayakan hari jadi Kota Malang, atas kerja sama Yayasan Inggil dengan Pemerintah Kota Malang. Tahun ini, FMK diadakan dari tanggal 19-22 Mei 2011 di kawasan elit kota apel tersebut, Jalan Idjen. Selama lima hari itu pula, jalan raya Idjen yang biasanya lengang dan kental dengan bangunan rumah kuno, berganti rupa menjadi pasar tradisional dengan suasana “tempo doeloe”. Seluruh kios berhiaskan atap jerami dan dinding bamboo tak ketinggalan para penjual pun memakai pakaian khas masyarakat kuno. Jejeran barang antik dan kendaraan kuno juga meramaikan suasana festival.

Uang memang bukan menjadi prioritas utama Festival Malang Kembali. Festival ini pada dasarnya diadakan sebagai bentuk visualisasi sejarah Kota Malang, sesuai dengan tema 2011, discovering heritage.
“Acara ini diadakan dengan satu pertanyaan sederhana, bagaimana membuat sejarah yang membosankan menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk dipelajari,” ujar penggagas Festival Malang Kembali, Dwi Cahyono, “nama Festival Malang Kembali pun diambil untuk menggambarkan upaya mewujudkan kembali sejarah Malang kepada warga kota ini.”

Untuk mewujudkan visualisasi ini, Dwi Cahyono bersama tim dan sukarelawan mengumpulkan total dana hingga Rp 1.5 miliar. Sebanyak 20% dana ditanggung oleh sponsor utama yang tahun ini diberikan kepada Esia. Pemerintah Kota pun turut menanggung dana 20% dari keseluruhan. Sisanya?

Sebanyak 60% total dana berikutnya ludes dalam penjualan stand. Rupanya festival ini tidak hanya memiliki daya pikat sejarah tetapi juga daya pikat ekonomi mikro. Sedikitnya 1000 stand turut mendaftar untuk masuk ke dalam Festival Malang Kembali. Hanya 500 stand yang terpilih masuk dan meramaikan pasar tradisional FMK.

“Keuntungan material bisa dilihat dari keramaian stand. Kami sama sekali tidak menarik keuntungan dari festival ini. Tujuan kami bukan uang tetapi visualisasi sejarah,” ujar pria yang telah menjadi Ketua Umum FMK selama enam tahun berturut-turut tersebut.

Dengan kualifikasi tersebut stand-stand yang dipilih pun diprioritaskan untuk kalangan pedagang kecil dengan berbagai dagangan tradisional. Cahyono tidak memungkiri adanya dampak ekonomi bagi para pedagang tersebut.

“Dengan festival ini, barang-barang tradisional menjadi komoditi utama, persaingan pun meningkat,” tegas Ketua Yayasan Inggil tersebut,” Mereka seolah – olah naik kasta dari dagangan minoritas di pasar umum. Bayangkan semua pengunjung hanya mencari barang-barang tradisional, bukan lagi barang-barang modern sehari-hari.”

Barang-barang tradisional ini pun menjadi salah satu tonggak eknomi kota Malang. Seolah menegaskan hal tersebut, sebuah visualisasi Benteng 1767 berdiri di tengah-tengah kawasan Idjen, yang menjadi maskot FMK 2011. Sejarah pernah menuliskan ada sebuah Benteng yang berdiri di kota Malang sebagai bentuk pertahanan militer Belanda pada tahun 1767.

“Benteng adalah sumber kenyamanan dan keamanan bagi warga di sekitar benteng. Malang kala itu hanya kota kecil. Namun ketika benteng ini ada, perekonomian pun mengalir masuk. Benteng ini adalah lambang titik balik perekonomian,” tutur Sarjana Ekonomi yang menyenangi sejarah tersebut,

Vassilisa Agata | 51408041